Friday, November 13, 2020

LOGIKA BEKICOT HARAM


Di dalam sebuah artikel yang dipublikasikan oleh NU Onlien, dibahas tentang hukum fiqih (jurisprudensi Islam) memakan daging bekicot. Kiranya ini adalah artikel yang menarik. Dalam artikel ini dijelaskan bahwa bekicot haram karena dianggap menjijikkan. Dalam penjelasannya, pendapat keharaman hewan tersebut didukung oleh pendapat para ulama dalam yang ada di dalam literatur (apa yang disebut sebagai) kitab kuning.

(lihat artikel ini!: Hukum Makan Bekicot)

Kiranya pembahasan akan hal ini menjadi penting dalam konteks hukum Islam. Penting di sini dikarenakan pembahasan ini memiliki nilai signifikansi (kebermanfaatan) yang kiranya cukup besar. Dikarenakan di beberapa daerah di Indonesia, tidak jarang ditemui penjual makanan berbahan daging bekicot. Sehingga keputusan yang diambil dalam hal ini bisa saja memiliki dampak sosial (social impact) yang cukup besar.

Secara umum penjelasan artikel tersebut sampai pada pernyataan ‘bekicot haram’ dapat dalam suatu silogisme sebagai berikut:

1. Setiap yang menjijikkan adalah haram (Premis Mayor)

2. Bekicot menjijikkan (Premis Minor)

3. Bekicot haram (Konklusi)

 Jika kita tinjau penarikan kesimpulan dalam silogisme tersebut adalah benar. Kebenaran itu utamanya jika ditinjau dari cara penarikan kesimpulan yang dilakukan dengan benar. Hal ini jika dijelaskan adalah sebagai berikut:

 Tabel Silogisme 

Premis 1 (Mayor)

Setiap yang menjijikkan

adalah

haram

S (A)

 

P (B)

 

 

 

Premis 2 (Minor)

Bekicot

 

menjijikkan

S (C)

 

P (D)

 

 

 

Konklusi

Bekicot

adalah

haram

S (C)

 

P (B)

 

 

 

Dalam silogisme tersebut, yang bisa kita katakan sebagai rumusan silogisme ‘keharaman bekicot’, kesimpulan (konklusi) didapatkan dengan cara menjadikan subyek (S) dari premis minor (C) sebagai subyek (S) dari konklusi. Dan predikat (P) dari premis mayor (B) dijadikan sebagai predikat (P) dari konklusi. Dalam hal ini maka kita bisa mengatakan bahwa penarikan kesimpulan seperti ini benar adanya.

Namun, kemudian, silogisme ini menjadi bermasalah dari segi materinya. Dan lagi-lagi pertanyaan klasik terhadap silogisme dapat kita ajukan: ‘bagaimana kita bisa memastikan kebenaran premis-premis tersebut?’. Hal inilah yang juga dipertanyakan terhadap susunan logika silogisme di atas.

Pertanyaannya ialah: “bagaimana bisa pandangan orang arab dijadikan dasar hukum dalam Islam?.” Dengan kata lain: “apakah benar bahwa setiap yang dianggap jijik orang arab adalah haram?.’ Kiranya ini adalah tidak valid sebagai fakta, meskipun masih diperlukan proses induksi dalam hal ini. Di samping itu, hal ini tidak ada dalam kaidah ushul fiqh (kaidah penggalian hukum Islam).

Dengan begitu, kita lalu dihadapkan kepada kosekuensi yang niscaya dari logika ini. Karena jika saja proposisi kedua dari logika tersebut (premis minor) dapat kita bantah, maka runtuhlah semua bangunan logika tersebut. Dan dengan demikian juga telah membatalkan pernyataan bahwa: ‘bekicot hukumnya adalah haram.”

Jawaban akan hal ini membawa kita ke dalam suatu konsekuensi yang lain. Yakni: jika kita menerima kebenaran pernyataan bahwa: ‘bekicot haram karena menjijikkan’, dan di sisi lain kita menolak kebenaran pernyataan bahwa: “standar menjijikkan adalah ‘menjijikkan’ menurut orang arab”, maka kita bisa jadi menerima kebenaran pernyataan bahwa “ ‘menjijikkan’ itu relatif.

jika demikian, maka apakah keharamannya itu adalah relatif juga?

    

Malang, 13 Nopember 2020

 

 R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd

No comments:

Post a Comment

APAKAH FILSAFAT ITU SESAT?