Di dalam sebuah
artikel yang dipublikasikan oleh NU Onlien, dibahas tentang hukum fiqih
(jurisprudensi Islam) memakan daging bekicot. Kiranya ini adalah artikel yang
menarik. Dalam artikel ini dijelaskan bahwa bekicot haram karena dianggap
menjijikkan. Dalam penjelasannya, pendapat keharaman hewan tersebut didukung
oleh pendapat para ulama dalam yang ada di dalam literatur (apa yang disebut
sebagai) kitab kuning.
(lihat artikel ini!: Hukum Makan Bekicot)
Kiranya pembahasan
akan hal ini menjadi penting dalam konteks hukum Islam. Penting di sini
dikarenakan pembahasan ini memiliki nilai signifikansi (kebermanfaatan) yang
kiranya cukup besar. Dikarenakan di beberapa daerah di Indonesia, tidak jarang
ditemui penjual makanan berbahan daging bekicot. Sehingga keputusan yang
diambil dalam hal ini bisa saja memiliki dampak sosial (social impact)
yang cukup besar.
Secara umum
penjelasan artikel tersebut sampai pada pernyataan ‘bekicot haram’ dapat dalam
suatu silogisme sebagai berikut:
1. Setiap yang
menjijikkan adalah haram (Premis Mayor)
2. Bekicot
menjijikkan (Premis Minor)
3. Bekicot haram
(Konklusi)
Premis 1
(Mayor) |
Setiap
yang menjijikkan |
adalah |
haram |
S (A) |
|
P (B) |
|
|
|
|
|
Premis 2
(Minor) |
Bekicot |
|
menjijikkan |
S (C) |
|
P (D) |
|
|
|
|
|
Konklusi |
Bekicot |
adalah |
haram |
S (C) |
|
P (B) |
|
|
|
|
Dalam silogisme tersebut, yang bisa kita katakan sebagai rumusan silogisme ‘keharaman bekicot’, kesimpulan (konklusi) didapatkan dengan cara menjadikan subyek (S) dari premis minor (C) sebagai subyek (S) dari konklusi. Dan predikat (P) dari premis mayor (B) dijadikan sebagai predikat (P) dari konklusi. Dalam hal ini maka kita bisa mengatakan bahwa penarikan kesimpulan seperti ini benar adanya.
Namun, kemudian,
silogisme ini menjadi bermasalah dari segi materinya. Dan lagi-lagi pertanyaan
klasik terhadap silogisme dapat kita ajukan: ‘bagaimana kita bisa memastikan
kebenaran premis-premis tersebut?’. Hal inilah yang juga dipertanyakan terhadap
susunan logika silogisme di atas.
Pertanyaannya ialah:
“bagaimana bisa pandangan orang arab dijadikan dasar hukum dalam Islam?.” Dengan
kata lain: “apakah benar bahwa setiap yang dianggap jijik orang arab adalah
haram?.’ Kiranya ini adalah tidak valid sebagai fakta, meskipun masih
diperlukan proses induksi dalam hal ini. Di samping itu, hal ini tidak
ada dalam kaidah ushul fiqh (kaidah penggalian hukum Islam).
Dengan begitu, kita
lalu dihadapkan kepada kosekuensi yang niscaya dari logika ini. Karena jika
saja proposisi kedua dari logika tersebut (premis minor) dapat kita bantah,
maka runtuhlah semua bangunan logika tersebut. Dan dengan demikian juga telah
membatalkan pernyataan bahwa: ‘bekicot hukumnya adalah haram.”
Jawaban akan hal ini
membawa kita ke dalam suatu konsekuensi yang lain. Yakni: jika kita menerima
kebenaran pernyataan bahwa: ‘bekicot haram karena menjijikkan’, dan di
sisi lain kita menolak kebenaran pernyataan bahwa: “standar menjijikkan
adalah ‘menjijikkan’ menurut orang arab”, maka kita bisa jadi menerima
kebenaran pernyataan bahwa “ ‘menjijikkan’ itu relatif.”
jika demikian, maka apakah keharamannya
itu adalah relatif juga?
Malang, 13 Nopember 2020
No comments:
Post a Comment