Monday, November 9, 2020

RANTAI MELINGKAR PENDIDIKAN: (TIK-TOK TELAH MENGGURUI ANAK-ANAK KITA (?))

 

Menyoal pendidikan adalah salah satu hal yang sangat berat di masa sekarang ini. Era di mana digitalisasi informasi dan komunikasi mencapai puncaknya. Di mana nilai-nilai telah dimasukkan sedemikian intim dalam diri seseorang di satu sisi. Dan keterlambatan mengejar para pemikir pendidikan (dan moral) di sisi lain.

Penulis memiliki pengalaman pribadi yang mengusik pikiran pribadi penulis sehingga menjadi kegelisahan tersendiri dalam pikirannya. Yaitu, ketika ia mendengar seorang anak kecil usia kelas 4 (tiga) Sekolah Dasar (SD) menceritakan kepada temannya bagaimana ia menyaksikan sebuah aplikasi video pendek yang populer yaitu tik-tok.

Si anak bercerita kepada temannya bagaimana ia bersama temannya yang lain menyaksikan video pendek di tik-tok yang isinya adalah (--sensor--). Menurut penuturan si anak kecil itu (dengan tak merasa berdosa, karena memang belum baligh) seseorang yang ada di dalam video pendek itu adalah perempuan yang tak berbusana. Temannya seketika langsung menegur. “Jangan-jangan kamu teruskan ngomongnya. Itu omongan yang jelek. Aku tidak boleh bilang begitu sama ayahku.” Demikian kata temannya itu.

***

Kattsoff mengatakan, bahwa seorang filsuf tidak boleh mudah terbawa ke dalam suatu perasaan. Baik itu perasaan sedih atau kasihan, dan... (apalagi cinta....). Mencintai kebenaran mungkin adalah suatu pengecualian dalam hal ini.

Jika demikian, penulis lebih tertarik untuk mengatakannya sebagai sebuah kegelisahan. Karena seorang filsuf memang harus senantiasa gelisah atas semua fakta yang ia temui. Gelisah untuk selalu mempertanyakan dan mencoba memberikan yang memadai. Gelisah untuk selalu menganalisa dan melakukan sintesa terhadap segala fenomena yang ia amati.

***


Dalam kaitannya dengan apa yang saya amati di atas. Kenyataan tik-tok dan anak kecil. Saya menjadi terpikir bahwa tugas-tugas pendidikan adalah suatu tugas yang demikian berat tantangannya di era 4.0 ini. Mereka harus tetap berjuang untuk mewariskan nilai-nilai luhur kemanusiaan, kenusantaraan, dan keagamaan kepada peserta didik mereka. Dan harus bersaing melawan aplikasi-aplikasi digital yang canggih yang (dengan tidak langsung) membawakan nilai-nilai yang sungguh sangat bertolah belakang dengan apa yang diperjuangkan para tenaga pendidikan. Ironisnya, peratalan canggih itu juga dibuat oleh orang-orang yang juga mengenyam pendidikan sebelumnya.

Permasalahan tidak hanya sampai di situ saja. Karena di sisi lain, hal ini juga setidaknya berhungan (untuk tidak mengatakan mempengaruhi) dengan latar belakang keluarga yang berbeda. Di dalam masyarakat kita, mungkin masih terdapat keluarga-keluarga yang memiliki dan memegang teguh nilai-nilai luhur kehidupan. Namun kita juga mengakui dan tidak bisa menutup mata bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga yang kurang memegang teguh nilai-nilai luhur kemanusiaan, kebudayaan, dan keagamaan (yang bisa disebabkan banyak hal) juga mungkin tidak sedikit.

Demikian ini dapat kita percaya setidaknya jika kita melihat dan merasakan bahwa terdapat anak-anak (yang mungkin pula terjadi pada anak kita) yang memegang nilai-nilai baik dalam kebiasaan sebelumnya. Kemudian ia menjadi memiliki kebiasaan yang berbeda setelah kita sekolahkan.

Kita menyadari bahwa ketika seorang anak masih hanya mengalami hidup di rumah saja bersama keluarganya, variabel-variabel yang mengitarinya lebih sederhana dari pada ketika membuka diri ‘ke luar’. Di lembaga pendidikan, anak menjumpai kenyataan-kenyataan yang lebih kompleks dan sedikit-banyak (bahkan mungkin sangat banyak) terhadap pola pikir dan sikap, serta moral mereka. Di sana, si anak akan menjumpai lingkungan temannya dengan berbagai ‘insan’ dari berbagai latar belakang keluarga yang berbeda. Hal ini memungkinkan fenomena anak yang sekolah moralnya tambah buruk dari pada sebelum masuk jenjang pendidikan, meskipun tidak bisa digeneralisir harus demikian.

Kita lalu menyadari bahwa orang, berebut pengaruh dengan teman yang memiliki latar belakang keluarga yang berbeda. Padahal, kita menyadari bahwa teman adalah lebih berkesan bagi seorang anak. Dalam hal ini maka ia lebih besar dipengaruhi temannya.

Permasalahan ini sebenarnya juga tidak selesai sampai di sini. Karena kita bisa menilai atau memprediksikan bahwa ketiadaan nilai dalam keluarga itu dicetak pula oleh ketidak-berhasilan pendidikan sebelumnya. Sehingga, jika kita melihat suatu keluarga yang tidak memegang teguh nilai-nilai positif dalam kehidupannya, demikian itu pada dasarnya menjadi cerminan kegagalan pendidikan sebelumnya. Maka jadilah ini semua sebagai suatu rantai melingkar dan saling mengkait satu sama lain.

***

Zuhairini mengatakan, bahwa para filsuf saat ini sudah tidak lagi (atau cenderung tidak) memikirkan hal-hal yang besar layaknya di masa Anaximandros, Anaximander, Socrates, Plato dan Aristoteles. Hal ini mungkin ada benarnya dan memang tidak sepenuhnya salah. Namun bahwa seorang filsuf itu senantiasa memikirkan hal-hal yang mendasar adalah wajib adanya. Seorang pemikir haruslah memikirkan secara mendalam dan mencarikan solusi bagi masalah-masalah mendasar dari hal ini. Seorang filsuf akan menjadi sia-sia dan tak berguna adanya jika melewatkan dari memikirkan hal-hal yang demikian penting dari pendidikan manusia semacam ini.

Di balik itu semua, seorang filsuf berfikir bahwa memang manusia dalam menjalani hidup di dunia sedang berada dalam lembaga pendidikan hidupnya.



Kepanjen – Malang, 09 Nopember 2020





R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd
Pegiat Kajian Filsafat Ilmu
Penulis buku Filsafat Ilmu, Pemahaman Filsafat, Ilmu, dan Manusia

No comments:

Post a Comment

APAKAH FILSAFAT ITU SESAT?