Sehari sebelum saya menulis tulisan ini, saya menjumpai suatu video dari seorang mebaligh (dai) muslim di sebuah group Facebook yang saya ikuti. Ia menyatakan (secara umum) bahwa filsafat masuk ke dalam Islam sejak awal abad ke-2 Hijriyah dan kemudian ia mempengaruhi pemikiran ummat muslim di dalam memahami agamanya. Kemudian pemahaman Islam menjadi rusah karenanya. Ia juga menjelaskan bahwa filsafat adalah sesat serta haram karena dikembangkan oleh orang Yunani menyembah dewa-dewa, dan tidak mengenal Allah.
Demikian kira-kira ikhtisar ceramah sang muballigh.
Saya telah mencoba memberikan komentar terhadap video tersebut di kolom komentar FB. Akan tetapi saya ingin mencoba menjelaskannya kembali di sini di dalam uraian yang mungkin sedikit lebih panjang. Pada dasarnya, penolakan pada filsafat dan penilaian sesat padanya memang sudah ada dan terjadi.
Di dalam hal ini saya ingin memulai penjelasan dengan menjelaskan terlebih dahulu mengenai definisi filsafat. Filsafat dapat dijelaskan sebagai suatu proses berfikir yang bersifat logis, sistematis, dan radikal. Logis berarti berfikir filsafat haruslah mengikuti langkah-langkah berfikir yang benar. Sistematis menandakan bahwa di dalam suatu pemikiran filsafati, suatu masalah haruslah dikaji secara runtut dan satu persatu. Radikal menjadi penanda bagi suatu pemikiran filsafati yang bersifat mendalam.
Dari penjelasan di atas, maka kita menjadi mengetahui bahwa pada dasarnya filsafat merupakan suatu cara atau metode di dalam berfikir. Sebagai suatu cara atau metode, sebagaimana juga suatu alat, maka ia bersifat netral adanya. Netralitas sebuah alat ini juga berkaitan dengan banyak hal lain yang bisa mempengaruhi kenetralan alat tersebut. Sebuah pisau, bisa sangat bermanfaat saat digunakan oleh seorang ibu untuk mengiris makanan. Akan tetapi menjadi sangat berbahaya saat dimainkan anak kecil. Demikian pula ia akan berujung pada tindakan kriminal saat digunakan untuk membunuh.
Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali At-Thusi, yang secara salah kaprah dikenal sebagai penolak filsafat oleh banyak kalangan muslim karena kitabnya yang berjudul Tahafut Al-Falasifah (Kerancuan Parah Filsuf) pada dasarnya tidak mengharamkan filsafat dalam segala aspeknya. Sebagaimana dituangkan di dalam Al-Munqidh Min Ad-Dhalal yang pada dasarnya memuat penjelasan mengenai epistemologi Al-Ghazali, ia menjelaskan bahwa terdapat beberapa kalangan filsuf seperti aliran filsafat eternal (ilhiyyun), dan aliran filsuf alam (thabi’iyyun) yang menyebabkan mereka terjatuh pada kekufuran atau setidaknya kepada kefasikan. Hal ini karena mereka berpendapat di dalam proses filsafatnya dengan apa yang bertentangan dengan agama seperti: kekekalan alam, bahwa keberadaan alam ada dengan sendirinya dan tanpa melalui proses penciptaan, dan semacamnya. (Al-Munqidh min Ad-Dhalal). Al-Ghazali meletakkan agama di atas filsafat dan oleh karenanya agama harus memberikan penilaian terhadap berbagai aliran filsfat dan tidak berlaku sebaliknya.
Di sisi lain, beberapa aliran filsafat telah melahirkan pengetahuan logika dan matematika. Filsafat pada kelompok ini juga telah menguraikan pengetahuan ilmiah sehingga menciptakan berbagai cabang ilmu seperti astronomi, kedokteran dan semacamnya. Al-Ghazali mengatakan bahwa pada ranah ini, filsafat seperti logika dan matematika adalah netral adanya, serta ‘tidak ada jalan bagi kita untuk memvonis haram dan fasiq baginya.’ (Al-Munqidz Min Ad-Dhalal).
Kita memahami bahwa (sebagaimana juga saya sampaikan di dalam komentar saya di Facebook) filsafat adalah induk ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan lahir setelah manusia berusaha menggunakan akalnya untuk memikirkan sesuatu yang mendasar dari hidup, kehidupan, dan alam ini. pada tahap berikutnya, filsafat melahirkan ilmu pengetahuan. Dan pada tahap yang lebih kemudian, ilmu pengetahuan membuahkan teknologi yang mestinya untuk mempermudah kita dalam kegiatan sehari-hari. Di masa kini, perkembangan era digital telah melahirkan berbagai teknologi informasi dan komunikasi yang sangat canggih. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang mencapai puncaknya di era sekarang ini membawa kita masuk ke dalam apa yang disebut sebagai era 4.0. Kehidupan kita kita sepertinya tidak bisa terlepas dari cengkraman teknologi informasi dan komunikasi ini.
Demgam demikian, adalah tidak mungkin, dan merupakan suatu hal yang aneh bagi kita ketika kita telah menikmati buah di satu sisi, dan mengharamkan serta menyesatkan pohonnya di sisi lain.
Malang, 19 Januar 2022
R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd.
No comments:
Post a Comment