Monday, April 19, 2021

HARUSKAH AL-QUR’AN MENJAWAB SEMUA PERTANYAAN ILMU PENGETAHUAN?

 


Ada suatu masa di mana peradaban Islam mencapai puncaknya dalam Ilmu Pengetahuan. Ketika itu, dalam berbagai bidang, baik kehidupan keber-agama-an, Militer, Politik, dan Ilmu Pengetahuan masyarakat Islam memegang kendali itu semua. Duniapun menoleh kepada masyarakat Islam sebagai sebuah cerminan kemajuan dan peradaban. Islam telah benar-benar memenangkan peradaban dunia dan, suatu peran pengaturan di bumi sebagaimana diutarakan dalam Al-Qur’an telah benar-benar diejawantahkan oleh para ilmuwan Muslim. Hal demikian ini berlangsung selma sekitar 7 (tujuh) abad lamanya.

Namun demikian, seiring perjalanan waktu, Islam yang begitu terang benderang kala itu lalu tiba-tiba meredup lampu pijarnya. Di sisi lain, dunia barat yang semula gelap gulita, dengan diiringi semangat menirukan kecemerlangan Islam mulai menyalakan pijaran ilmu di sana. Di sinilah maka dikatakan oleh Philip K. Hitti sebagai: ‘pergantian panggung kejayaan.’ Kendali kepada Ilmu menjadi berganti. Demikian pula pemegang peradabanpun menjadi beralih. Dari sini, maka seorang cendikiawan seperti Azumyardi Azra berkesimpulan: ‘Iptek menjadi penentu bagi Islam untuk meraih kejayaan peradabannya.’

 Di dalam kondisi keterpurukannya kala itu, kemudian Ummat Islam kemudian sibuk untuk membawa agamanya mengejar laju ilmu pengetahuan. Maka, sering kita dengar (bahkan) sampai sekarang, suatu upaya untuk mencocokkan apa yang dinyatakan di dalam kitab suci dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Lalu Ummat Islam sibuk bagaimana menjawab temuan Ilmu Pengetahuan dengan kitab suci. Suatu upaya yang kiranya sangat berlebihan adalah apa yang diupayakan oleh Muhammad Abduh untuk menjawab bagaimana Islam harus menjawab teori evolusi Darwin dengan Al-Qur’an. Sebagian lagi mencoba menjawab temuan Ilmu Pengetahuan dengan kata apologetik: “itu sudah dinyatakan dalam kitab suci Al-Qur’an yang kami pendomani.” Terhadap pernyataan semacam ini kemudian ada yang membalas dengan pertanyaan sinis: “kalau begitu, mengapa kamu tidak menemukannya terlebih dahulu (dengan kitab suci) sebelum kami?”

Di satu sisi, saya ingin mengatakan bahwa: kiranya saya setuju dengan apa yang disampaikan oleh Asmaran As., dalam bukunya yang berjudul ‘Tasawuf’ bahwa (kurang lebih): ‘jika sebelumnya agama telah begitu sibuknya mencoba mengikuti ilmu pengetahuan, kiranya sekarang ilmu-lah yang harus sibuk mengikuti agama. Hal ini karena Ilmu Pengetahuan sekarang sudah kebingungan dan tidak tahu kemana ia harus berlabuh.’ Salah satu faktornya adalah konsep tentang ‘bebas nilai’ dalam Ilmu pengetahuan, yang membawa ilmu menjadi semakin liar tanpa mengerti tujuan. Pada saat ini bahkan, seorang filsuf modern seperti Nicholas Maxwell mencoba mengembangkan kerangka berfikir ilmu yang berbasis tujuan. Konsep ini mulai mengkritik ilmu pengetahuan dengan menyatakan bahwa: ‘penekanan ilmu pada ranah metode dan epistimologi adalah hal yang keliru. Di masa depan Ilmu harus berorientasi pada tujuannya (axiologi). Perntanyaan mendasar Ilmu pengetahuan yang sekarang masih ditekankan pada: ‘bagaimana kebenaran itu harus diraih?’ harus bergeser kepada pertanyaan: ‘apa yang dikehendaki kebenaran ilmu pengetahuan?’ dan ‘apakah suatu pengetahuan itu bermanfaat?’. Konsep inilah yang oleh Maxwell disebut sebagai “Aim Oriented Empiricism” (Empirisme berorientasi tujuan). Kiranya apa yang diasumsikan oleh Asmaran As., telah menjadi suatu kenyataan yang coba diwujudkan oleh Maxwell.

Kesimpulan dari hal di atas adalah: bahwa agama dengan kitab sucinya tidak merasa harus sibuk, dan tidak perlu disibukkan untuk mengikuti laju ilmu pengetahuan. Apa yang harusnya terjadi adalah sebaliknya: ‘ilmu harus mengejar agama.’ Dengan demikian maka, seluruh percobaan untuk menjawab temuan Ilmu Pengetahuan dengan kitab suci tidaklah perlu dilakukan. Meskipun tidak bisa juga untuk dikatakan sebagai suatu usaha yang sia-sia.

Di sisi lain, kiranya saya setuju dengan apa yang dikatakan oleh M. Quraish Shihab. Ia menjelaskan bahwa tidak selayaknya jawaban terhadap Ilmu Pengetahuan itu dicari di dalam kitab suci Al-Qur’an. Demikian ini karena Al-Qur’an bukanlah buku Ilmu Pengetahuan. Demikian kira-kira yang diungkapkan M. Quraish Shihab di dalam bukunya ‘Membumikan Al-Qur’an.’

Terlebih dari itu, kita mengetahui bahwa sifat kebenaran Ilmu Pengetahuan adalah kebenaran tentatif. Dengan demikian, maka setiap kebenaran dari temuan Ilmu Pengetahuan yang sekarang dinyatakan sebagai ‘benar’ bisa ‘disalahkan’ pada suatu kondisi dan waktu kemudian. Jika demikian, maka apakah Al-Qur’an harus mengikuti kebenaran Ilmu Pengetahuan pada waktu tertentu dan kesalahannya pada waktu yang lain?. Tentu saja ini tidak mungkin.

Lalu, apa yang harus disediakan Al-Qur’an untuk Ilmu Pengetahuan?

Pertanyaan akan hal ini adalah: bahwa Al-Qur’an telah menyediakan iklim yang positif bagi berkembangnya Ilmu Pengetahuan. Di dalamnya terdapat ayat-ayat yang mendorong pengembangan Ilmu Pengetahuan. Dan hal inilah yang mendorong para cendikiawan muslim di masa lalu untuk mengembangkan sains dan teknologi. Al-Qur’an telah menyediakan tempat iklim yang positif bagi pengembangan sains dan teknologi. Katakanlah seperti ayat dalam QS. Al-Hajj (22):54 berikut:

وَلِيَعْلَمَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَيُؤْمِنُوا بِهِ فَتُخْبِتَ لَهُ قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ اللَّهَ لَهَادِ الَّذِينَ آمَنُوا إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (٥٤) 

Artinya:

dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Quran Itulah yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan Sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.

Demikian pula dengan QS Al-Mujadilah:11 berikut ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (١١)

Artinya:

Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Jadi, janganlah kita memaksan Kitab Suci untuk menjawab temuan Ilmu Pengetahuan. Jawablah Ilmu dengan Ilmu. Terimalah penemuan sains sebagai penemuan sains, dan tolaklah ia dengan sains pula. Jangan dengan kitab suci.

Karena kitab suci bukanlah kitab ilmu pengetahuan. Ia adalah kitab suci dari tuhan yang memberikan dorongan dan tempat yang luas serta iklim yang positif bagi pengembangan Ilmu Pengetahuan (sains) dan teknologi.

Salam.


Malang, 8 Ramadhan 1442 H / 19 April 2021 M


R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd

Penulis buku: “Filsafat Ilmu: Pengantar Pemahaman Filsafat, Ilmu & Manusia”


Referensi

(1) Pengantar Tasawuf. Karya: Asmaran As.

(2) Membumikan Al-Qur’an. Karya: M. Quraish Shihab

(3) In Praise of Natural Philosophy A Revolution for Thought and Life. Karya: Nicholas Maxwell (dipublikasikan dalam: Jurnal “Philosophia, vol. 40, no. 4, pp.705-715, 2012”)

No comments:

Post a Comment

APAKAH FILSAFAT ITU SESAT?