Oleh: R.Ahmad Nur Kholis, M.Pd
Zaman dahulu ketika saya tinggal d pondok pesantren di madura teknologi informasi dan komunikasi masih belum seperti sekarang ini. Televisi dan radio berkembang dengan baik tapi saya sebagai santri tidak dapat menjamahnya dengan leluasa. Televisi hanya bisa saya nikmati di pondok pada saat liburan. Itupun hanya tv telesonic sisa tahun 1960-an yang besarnya hampir satu meja. Acaranya adalah: nonton bareng berita di TVRI. Televisi sebesar meja yg 60% chasingnya adalah kayu triplek dan 40% alumunium itu tentu saja masih hitam putih. 'TV korran' dalam istilah orang madura. Di bagian bawah ada empat kaki yang dilengkapi dengan bola putar bagian bawahnya hingga mudah didorong.
Beberapa teman yg terbilang 'nekat' bin 'nakal', secara sembunyi2 menyimpan radio di lemarinya. Mereka sudah merasa bahagia bukan kepalang saat mendengar suara Yunita Ababil menyanyikan lagu 'trauma'...
"Keinginan tuk bercinta sirna.... keraguan selalu datang menjelma.." katanya.
Media komunikasi tidak seperti sekarang, masih mengandalkan teknologi kertas dan jasa kurir pos.
Saya jadi teringat ketika suatu hari, karena masalah penyakit kulit di tangan (baca: koreng) yang semakin parah, saya harus menitipkan baju cucian saya pada teman sekolah yang berangkat dari rumah. Sambil titip pesan "mohon maaf karena tangan saya korengan..." (hehehe....). Parahnya, ketika sekitar lima hari kemudian, ayah saya datang bawa obat, penyakit saya sudah sembuh. Saya jadi takut dikira bohong....
Kasus lain saya dengar bahwa seorang santri saat sakit kirim surat pada orang tuanya. Surat itu sampai, sakitnya sudah sembuh....
Demikianlah gambaran teknologi komunikasi jaman dahulu. Semuanya serba sederhana dan mobilitasnya lambat.
Tapi bagaimana jika kita lihat sekarang? teknologi rupanya sudah mencapai puncaknya. TV hitam putih itu sudah penuh warna. Dan tv besar yang dulu harus didorong oleh 2 orang itu kini sudah dengan mudahnya berada dalam genggaman anak kecil sekalipun. Komunikasi juga sudah semakin cepat dan biayanya pun murah.
Tapi sadarkah kita bahwa mereka telah memperbudak kita? dunia menjadi sepi dalam keriuhan dan riuh dalam kesepian sosial media. Sikap individualisme sudah semakin melanda kita.
Dulu di desa saya, saat ada orang makan di warung bersama, bisa saling bercengkrama penuh keakraban. Bahkan yang pada mulanya belum kenal bisa menjadi akrab hanya karena ucapan: "monggo...!!' saja. Namun sekarang? kita mungkin masih bisa duduk bersama di rumah makan, namun berbicara dengan orang nun jauh di sana.
Semua itu karena kita terus saja mengejar teknologi....
Malang, 20/02/2018
No comments:
Post a Comment