Oleh: R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd
Saya melihat, mengalami dan memikirkan bahwa dalam banyak kasus ketika saya dulu merencanakan suatu hal sering kali mengalami kegagalan. Meskipun demikian bukan berarti semua gagal, namun tidak jarang pula apa yang saya rencanakan itu berhasil.
Namun, demikian, dalam keberhasilan itu sering kali saya tidak merasakan ada kepuasan dan kebahagiaan atas keberhasilan itu. Sering kali ketika mendapatkan sesuatu saya justru mendapatkan kesusahan dan ketidak-bergunaan akan apa yang saya raih itu. Dan dalam hati saya terus bertanya mengapakah demikian? Apa penyebabnya? Dan bagaimana hidup ini pada hakikatnya.
Sampai suatu saat ketika saya kira-kira berumur 15 tahun, saya belajar di sebuah Madrasah Aliyah di malang sambil saya mondok. Di pesantren saya mulai berkenalan dengan filsafat determinisme Al-Asy'ari melalui karya-karya Imam Al-Ghazali. Di dukung dengan guru pengajar (pendidik) saya yang pengamal sufi.
Dari perkenalan saya akan filsafat determinisme itu, maka saya mulai bisa menjawab apa yang menjadi kemelut dalam hati saya. Mengapa saya sering gagal dalam apa yang saya rencanakan, mengapa saya tidak mendapatkan kebahagiaan atas cita-cita yang saya raih?
Kesimpulan saya adalah bahwa kita tidak sepenuhnya berada dalam kebebasan berkehendak dan bertindak (free will & free act). Kita berada dalam kendali Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan yang mengendalikan manusia dan alam semesta.
Dalam pada itu, sampai setidaknya saya berumur 30 tahun, sebelum saya S-2. Saya merasa tenggelam ke dal dunia ide, dan meninggalkan (meskipun tidak sepenuhnya) dunia materi. Segala sesuatu maka saya kaitkan dengan dunia idealisme seperti masalah-masalah ghaib (metafisika). Menilai seseorang dengan tingkat spiritualitasnya dan sebagainya.
Dalam hal kausalitas, baik alam mapun moral, saya telah meniadakan hampir seluruh kausalitas tersebut. Maka saya berasumsi ketika misalnya saya melihat sepak bola, tidak ada hubungan sama sekali dan apalagi sebab akibat antara intensitas latihan dengan kemenangan. Jadi tiada perlu latihan itu. Juga saya tidak perlu merencanakan apapun dalam suatu hal karena semua sudah ada ketentuan Tuhan. Meskipun saya masih memiliki keinginan karena keyakinan saya adalah bahwa Tuhanlah yang membuat saya berkeinginan.
Dalam hal saya berdoa ketika itu sering kali apa yang menjadi doa saya dikabulkan Tuhan. Ini sekilas tampak biasa. Namun yang mungkin harus digaris bawahi adalah bahwa ketika itu saya berpemahaman begini: "bahwa Tuhan lah yang memastikan hal itu terjadi pada saya. Dan bersamaan dengan itu Allah telah menakdirkan saya berdoa." Jadi bukan karena saya berdoa lalu Allah kabulkan. Melainkan itu semua, baik kejadian saya berdoa maupun terjadinya apa yg saya minta adalah Allah jua yang menaqdirkannya.
Selama dan selepas saya S-2 ini saya telah berkenalan lebih jauh dengan aliran-aliran filsafat lain dan membuat saya secara bertahap merombak apa yang telah menjadi sistem pemikiran saya selama ini. Meskipun sisa-sisa determinisme masih ada dalam pemikiran saya.
Namun saya secara umum mencari titik pijak (stand point) baru dalam sistem pandangan hidup saya.
Salam.
Bondowoso, 15 Agustus 1986
wah ini kisahnya masih bersambung ini...
ReplyDelete