Monday, October 26, 2020

ILMU DALAM KERANGKA KERJA FILSAFAT (Bagian 1)

 


Prolog

Secara umum di dalam buku-buku filsafat Ilmu yang beredar di negara kita senantiasa dijelaskan bahwa filsafat telah memberikan landasan dan fondasi bagi dikembangkannya ilmu pengetahuan. Dijelaskan pula bahwa sejak permulaan manusia memikirkan diri dan lingkungan sekitarnya, dengan menggunakan alur dan cara berfikir yang lurus, dari sanalah dimulai kegiatan kefilsafatan. Dijelaskan pula bahwa, sejak pengetahuan manusia bergeser dari kebenaran yang semata logis menuju kepada kebenaran yang dilandaskan kepada verifikasi empiris, maka dari sinilah ilmu dimulai.

Namun demikian penjelasan umum di atas belumlah menjelaskan secara lebih terperinci tentang apa yang disediakan filsafat terhadap ilmu. Pun juga belum menjelaskan tentang bagaiman filsafat masih ‘menjaga tangannya’ untuk mengendalikan Ilmu. Pada ranah apa filsafat masih berperan dan harus tetap diperankan untuk menjaga kendali ilmu yang ibarat anak kecil yang ingin bermain segalanya tanpa mengetahui kebahayaan yang dihadapinya ketika melangkah.

Kegagalan akan membaca hal ini dalam kenyataannya membuat kita tidak mampu mengambil berkah ilmu pengetahuan ini. Di sini perlulah kita jelaskan mengenai peran filsafat terhadap ilmu. Peran apa yang dimainkan filsafat terhadap ilmu baik dalam ranah ontologis, epistimologis, maupun aksiologisnya.


Peran Ontologis Filsafat terhadap Ilmu Pengetahuan: Asumsi Ilmu

Kita mengetahui bahwa salah satu pembahasan dasar filsafat adalah mengenai hubungan (asosiasi) fakta yang ada di alam. Pembahasan yang lain yang mendasar secara ontologis adalah seperti pembahasan mengenai: ‘yang ada’ (being); esensi, bentuk (form), dan lain sebagainya. Pembahasan mengenai hubungan atau asosiasi ini memberikan dasar bagi dibentuknya asumsi Ilmu Pengetahuan atau yang disebut sebagai sains.

Asumsi ilmu pengetahuan ini menjadi penting karena dengan mengetahui asumsi inilah penjelajahan ilmu bisa dimulai. Ibarat kita akan mengelilingi sebuah lingkaran, maka asumsi digunakan untuk menentukan di mana kaki kita akan berpijak utuk memulai berjalan. Kita harus mengasumsikan bahwa titik pijak kita dalam berdiri itulah permulaan sebuah lingkaran mulai dilukiskan. Dengan mengetahui hal ini pula kita kemudian dapat mengetahui bahwa kita telah mengelilingi lingkaran itu sekali atau dua kali.

Ilmu dibangun di atas asumsi dasar bahwa segala sesuatu di alam ini terjadi tidak dengan sendirinya. Melainkan suatu kejadian atau fenomena terjadi berkaitan atau bahkan disebabkan suatu hal yang lain. Penyebab inilah yang kemudian mencoba dicari oleh ilmu pengetahuan. Tanpa adanya asumsi demikian maka kiranya ilmu tidak akan berbuat apa-apa.

Dalam kaitannya dengan asumsi ilmu pengetahuan ini setidaknya ada beberapa aliran filsafat yang memberikan dasar bagi ilmu pengetahuan dalam menjalankan penyelidikan dan pengembangannya. Beberapa aliran tersebut adalah: (1) Filsafat Realism; dan (2) Determinisme. Di dalam determinisme ini kiranya perlu dibagi lagi kepada determinisme ala Imam Abul Hasan Al-Asy’ari; dan Imam Abu Hamid Al-Ghazali. Demikian ini karena kedua model determinisme ini ada beberapa perbedaan cabang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam kaitannya dengan asumsi ilmu pengetahuan, terdapat 3 (tiga) aliran filsafat yang mempengaruhi yaitu: (1) Filsafat Realisme klasik (dikembangkan oleh Ibnu Rusyd); (2) Filsafat Determinisme Al-Asy’ari; dan (3) Filsafat Determinisme Al-Ghazali.


Realisme: Kausalitas

Filsafat Realisme memberikan dasar asumsi baha alam diciptakan oleh Tuhan dengan hukum-hukum tertentu yang ada di dalamnya. Hukum ini ada tanpa memperhatikan apakah ia telah dan memungkinkan diketahui oleh indera dan (atau) logika manusia. Bisa saja sesuatu itu ada meskipun belum atau tidak bisa diketahui oleh manusia. Bahkan mungkin berada di luar kemampuan manusia untuk mengetahuinya. Hal inilah yang membedakan antara realisme (utamanya realisme klasik) dengan aliran yang merupakan pengembangan darinya seperti naturalisme yang mengatakan bahwa setiap keberadaan sesuatu adalah termasuk dalam alam sehingga memungkinkan manusia untuk mengetahuinya (termasuk Tuhan). Demikian pula berbeda dengan positivisme yang mengatakan bahwa hanya yang dapat diketahui oleh indera manusialah yang bisa dikatakan ada. Hukum yang diletakkan Tuhan kepada alam ini sebagaimana dikatakan realisme, kita sebut sebagai hukum alam. Dan hukum alam ini adalah hukum sebab akibat (kausalitas). Hukum kausalitas menyatakan bahwa sesuatu disebabkan oleh sesuatu. Dalam kaitannya dengan ilmu, maka ia bertugas untuk menemukan hukum alam kausalitas ini. Bahwa matahari bersinar menyebabkan bumi cerah, api yang dapat membakar dan memanaskan air yang dimasak dan sebagainya, merupakan hukum Tuhan yang diletakkannya di dalam alam.


Determinisme Al-Asy’ari: Fakta yang diperbandingkan

Berbeda dengan Realisme, Determinisme memberikan asumsi tentang sebab kuasa Tuhan terhadap fakta dan fenomena alam. Determinisme tidak mengatakan bahwa sesuatu disebabkan oleh sesuatu yang lain yang berada di alam ini. Bagi determinisme, kenyataan bahwa api dapat membakar atau sinar matahari yang membuat bumi menjadi terang sama sekali tidak menunjukkan sebab-akibat. Determinisme mengatakan bahwa hal itu adalah fakta yang terjadi bersamaan. Di sisi lain, Al-Asy’ari juga mengatakan bahwa keberadaan dan kejadian sesuatu di alam (fakta) tidak terjadi dengan sendirinya. Melainkan ia telah ditentukan keberadaannya sejak semula.

Dengan menyatakan bahwa fakta tersebut tidak menyatakan sebab-akibat, melainkan terjadi bersamaan, maka di sini determinisme telah mengalami kekosongan ontologis. Dan untuk mengisi kekosongan ontologis ini, maka determinisme menggantinya dengan ‘kehendak Tuhan.’ Adalah bahwa ketika matahari terbit bumi menjadi terang, adalah Tuhan yang menghendaki bahwa matahari itu terbit dan dunia menjadi terang bagi manusia dan itu terjadi bersamaan antara mata hari terbit dan dunia yang terang. Adalah bahwa ketika air dipanaskan api kemudian air itu mendidih adalah Tuhan yang menyebabkannya demikian dan keduanya terjadi bersamaan.

Dengan demikian maka konsekuensi dari filsafat determinisme ini (khusunya determinisme ala Al-Asy’ari) menyebabkan fakta-fakta yang terjadi di dalam alam ini tidak bisa dihubung-hubungkan. Melainkan setiap fakta tersebut hanya dapat diperbandingkan satu sama lain dengan alasan-alasan logis dan setelah dilakukannya sebuah upaya klasifikasi yang cermat.


Determinisme Al-Ghazali: Hukum Kebiasaan Alam

Berbeda dengan determinisme Al-Asy’ari, berbeda pula dengan determinisme Al-Ghazali. Sebagaimana Al-Asy’ari, Al-Ghazali berpendapat bahwa tidak ada kausalitas dalam alam. Tidak ada sesuatu di alam ini yang menyebabkan sesuatu yang lain. Demikian pula tiada fakta yang terjadi di alam ini yang mempengaruhi fakta yang lain. Tidak ada sebab-akibat dalam alam karena suatu fakta atau fenomena disebabkan oleh ‘kuasa tuhan.’

Namun demikian bukan berarti fakta-fakta ini tidak berfungsi sama sekali. Karena bagi Al-Ghazali fakta-fakta itu dapat menjadikan suatu fakta yang lain itu mungkin terjadi. Dalam penjelasan yang lain dapat dikatakan bahwa suatu fakta dapat lebih mungkin terjadi karena terjadinya fakta yang lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan Al-Ghazali, tidak terjadi kekosongan ontologis sama sekali. Karena setiap fakta dihubungkan dengan kemungkinan kejadian atau yang kita sebut sebagai peluang (probabilitas). Dalam pandangan ini, adalah benar bahwa air mendidih tidak disebabkan oleh api yang memanaskan. Namun dapat dijelaskan bahwa kemungkinan api menjadi mendidih lebiih besar terjadi jika kita panaskan. Akan tetapi hal ini tidak menyatakan sebab-akibat sama sekali.



Kota Batu, 26 Oktober 2020



R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd
Pegiat Kajian Filsafat Ilmu
Aktifis di Haraka Institute Kota Batu

5 comments:

  1. Assalamualaikum
    Saya Irfan Fauzi
    Saya selalu bertanya tanya dalam fikiran apakah semua kebenaran dalam agama harus dilogisasikan menurut filsafat
    Karna memang banyak kisah Agama yng menurut filsafat itu tidak masuk dalam Akal manusia umumnya

    Lalu sampai akhirnya saya Menjumpai sebuah video yaitu kata gus miftah
    "Kalau semua agama itu harus dirasionalisasikan maka tidak ada bedanya agama dengan Ilmu pengetahuan, Kuliah saja cukup gk perlu agama, dan hebatnya agama karna beda dengan ilmu pengetahuan"

    Seperti halnya Keimanan
    Dalam isra mi'raj dimana nabi naik sampai langit ketujuh
    Kalau dalam Filsafat itu tidak masuk akal
    Lalu Saya berfikir lagi
    Seperti Jika Cinta Dari mata turun ke Hati
    Maka orang buta pun Seharusnya tidak bisa merasakan cinta

    Jadi keimanan Harus di percayai terkait kisah Dalam agama yang
    Secara Indra pengelihatan tidak Masuk akal
    Namun Secara Hati Mempercayai

    Dari hati Baru ke mata
    Tuhan ghaib jika
    Harus melalui mata turun ke hati
    Maka manusia pun tidak bisa merasakan cinta dan keberadaan Tuhan
    Karna manusia tidak bisa melihat tuhan

    Jadi pertanyaan saya
    Jika perkembangan Ilmu filsafat selalu didasarkan pada akal dan kebenaran
    Dan fakta empiris
    Apakah Agama akan pudar seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi
    Dan juga Asumsi sebagai dasar pengetahuan
    Apakah nanti ilmu pengetahuan justru akan pudar karna Terlalu menggunakan asumsi yang dimana Asumsi sendiri adalah Perkiraan Human tanpa adanya ilmu
    Nantinya Apakah Asumsi akan selalu menguasai

    Karna banyak orang yang Suka berasumsi terhadap sesuatu ,tanpa Fakta dan kebenaran yang ada
    Hingga menimbulkan Ke salah fahaman dalam memahami sesuatu
    Karna menurut saya
    Asumsi itu kayak Pendapat pribadi yang tidak berdasarkan Fakta

    ReplyDelete
  2. Sebelumnya mohon maaf Kepanjangan 🙏🙂

    ReplyDelete
  3. Menurut imam Al Ghazali
    Sesuatu tidak terjadi karna Kausalitas
    Tapi kehendak Tuhan
    Mengapa Tuhan menciptakan Sesuatu fakta untuk menjadi fakta yang lain
    Seperti kata diatas
    Api Memanaskan air hingga mendidih
    Adalah bukan sebab karna api panas tapi kehendak Tuhan dalam menurut pandangan imam Al Ghazali,
    Tetapi dalam Faktanya Memang kebanyakan fakta
    Sesuatu adalah sebab akibat dan seperti pandangan Ibnu rusyd
    Jika mengikuti ilmu pengetahuan dan teknologi maka Pendapat Ibnu Rusyd lah yang lebih masuk akal

    Maka bagaimana
    Kita sebagai manusia menanggapi
    2 pandangan yang berbeda itu
    Ibnu Rusyd tentang Kausalitas
    Sedangkan Imam al Ghazali tentang Semua kehendak Tuhan

    ReplyDelete
  4. Assalamualaikum pak... Sebelumnya mohon maaf saya mau bertanya pak 🙏🙏

    Apa perbedaan dari Al Ghazali sama Al Asy'ari
    Mungkin cukup itu saja yg dapat saya pertanyakan cukup sekian mohon maaf 🙏🙏 waassamualaikum wr wb

    ReplyDelete
  5. Assalamualaikum pak maaf sebelumnya saya baru komen sebelumnya perkenalkan saya Salwa Dinda Nadila ingin bertanya
    Dalam teks diatas
    Bahwa Sains tercipta Karna manusia mulai berfikir
    Disinilah Sains dimulai karna berkembang filsafat
    Lalu Bagaimana dengan Kita suci Seperti Al-Qur'an yang didalamnya terdapat
    Sains Hukum,dan lain sebagainya
    Sebagi sumber ilmu pengetahuan
    Apakah ilmu pengetahuan dan Kitab Al-Qur'an

    ReplyDelete

APAKAH FILSAFAT ITU SESAT?