Oleh: R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd
Kamis (19/05), saya berangkat ke Surabaya naik Bus Puspa Indah. Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya adalah tujuan saya. Saya ditugasi lembaga saya di Malang untuk suatu ke perluan di sana. Karena tidak ada uang kecil maka ketika kondektur meminta ongkos kepada saya, saya julurkan uang Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah). Ongkos Bus Malang-Surabaya tariff bus biasa sebagaimana yang saya tumpangi adalah Rp.15.000 (lima belas ribu), jadi seharusnya uang yang saya berikan tersebut harusnya kembali Rp. 85.000 (delapan puluh lima ribu rupiah).
Mungkin karena belum ada kembalian, maka diberikanlah kepada saya karcis dengan ada catatan di belakangnya. Tulisan itu bertuliskan kembalian yang seharusnya saya dapatkan dan berfungsi sebagai tanda bahwa uang masih ada di kondektur dan bisa dikembalikan nanti jika sudah turun dengan menunjukkan karcis bercatatan tersebut sebagai bukti. Hal ini memang sudah biasa dilakukan para kondektur dalam ‘manajemen’-nya.
Di tengah jalan, saya merasa ngantuk dan tertidur. Ketika hampir sampai di terminal Bungurasih Surabaya saya baru bangun tanpa menyadari bahwa karcis sudah tak di tangan lagi. Baru ingat setelah turun dan bus sudah berlalu dari tempat penurunan penumpang menuju tempat parkir.
Saya jadi repot juga memikirkannya ketika teringat kembalian belum dibayar. Di sisi lain barang bukti sudah tak ada lagi. Jika harus mencari sang kondektur dan meminta kembalian bisa dikatakan hampir pasti tidak bisa. Pikir saya secara Filsafat Positifisme baik menurut augus comte maupun neo positifisme Hegel dan Immanuel Kant di mana kebenaran harus dibuktikan secara empiris, maka bagaimanapun uang saya tidak kembali.
Namun saya coba menepis pikiran itu. saya mencoba berpikir menurut Filsafat Determinisme yang mengatakan bahwa semua yang terjadi di di dunia ini pasti sudah ditentukan dan ada sebab akibatnya. Siapa tahu Tuhan masih menentukan uang itu menjadi milik saya, dengan sebab-musabab kondektur masih ingat wajah saya, atau ingat bahwa saya adalah penumpang yang paling kelihatan muda (padahal…… hehe….). Pemikiran saya ini didukung oleh Demokritos, Hammilton, Hobbes dan Al-Asy'ari. Saya juga menggunakan semua peluang probabilitas yang saya miliki meskipun kecil yakni 0.1 atau 0.2 saja. (Maksudnya, ibarat sebuah percobaan, percobaan 10 kali, usaha yang dilakukan saya hanya satu atau dua kali saja berhasil).
Namun apa yang terjadi?, Kondektur bilang: "Kalau ada buktinya (yakni karcis) pak, 1000 pun kami kembalikan." katanya.
Apa boleh buat, saya hanya bisa pasrah saja sudah.
"Ya, saya tanya ini mungkin bisa pak saya minta meskipun tanpa bukti." kata saya.
(siapa tahu asas kemanusiaannya yang ia pakai dan berdasarkan teori Fenomenologi Ritzer yang menjadi landasan penelitian kualitatif yang ia gunakan)
Saya pun berlalu dengan tangan hampa. Pikir saya: rupanya kondektur itu penganut Filsafat Positifisme banget. Kalau saja ternyata ia masih bisa bilang Asahfirullah dan Al-Hamdulillah, pastilah ia pengikut Imanuel Kant atau Hegel, dan bukan pengikut Auguste Comte dan Durkheim. Karena bagi dua orang yang disebut trakhir ini filsafat positifisme harus bebas dari agama (atheis), sedang Kant dan Hegel berpendapat eksistensi tuhan, surga dan neraka adalah fenomena lain yang tak dijangkau oleh filsafat positifisme yang hanya mengacu pada aspek lahiriah saja. Oleh karenanya hegel dan Kant kemudian mendirikan filsafatnya sendiri yakni neo-positifisme.
Karena filsafat positifisme itu, uang saya tak kembali.
Malang, 19 Mei 2017
No comments:
Post a Comment