Oleh: R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd
Di kalangan masyarakat pada umumnya, terjadi kerancuan antara apa yang dimaksud dengan istilah etika dan moral. Pada kebiasaannya etika disamakan artinya dengan moral. Orang yang tidak bermoral disebut dengan tidak beretika, dan juga sebaliknya, saat kita melihat sesuatu yang tidak pantas berdasarkan suatu norma atau aturan dilakukan oleh seseorang, kita menyebutnya sebagai tidak etis. Apakah memang benar demikian?
Etika merupakan salah satu bidang kajian filsafat pada bagian aksiologi. Ia adalah filsafat (pemikiran) yang mengkaji tentang nilai benar dan salah, baik dan tidak baik. Lebih jauh, dikatakan bahwa etika itu berkaitan dengan pemahaman akan orientasi.
Berbeda dengan moral, etika tidak memberikan kita tuntunan bahwa sesuatu ini baik atau buruk dan sebagainya layaknya sebuah kitab suci agama. Sedangkan moral, bertugas memberikan tuntunan pada manusia untuk memberikan ajaran mana yang baik dan bana yang tidak. Mana yang benar dan mana yang salah. Hal ini dapat diketemukan oleh kita dalam ajaran kitab-kitab suci agama, norma kebudayaan dan petuah seorang tokoh (ulama, tokoh adat, pendeta dan semacamnya).
Permasalahannya adalah ketika kita dihadapkan pada sebuah pertanyaan demikian: “Benarkah apa yang dikatakan mereka dengan benar itu adalah benar?”, bagaimana kita bisa menjamin kebenaran dari suatu ajaran agama, budaya dan petuah seseorang?, dan jika saja terdapat perbedaan diantara itu semua manakah yang harus kita pilih?.
Maka dalam hal inilah etika itu berperan. Ia memeberikan kita semacam cara bagaimana kita menilai suatu nilai moral itu adalah benar dan bisa kita ikuti. Dalam hal ini (meskipun bukan satu-satunya) maka rasio adalah alat terutama yang digunakan etika dalam memberikan jastifikasi kebenaran dan kebijakan apa yang harus kita lakukan.
Ada banyak perbedaan pandangan tentang pada bagian potensi yang mana dalam diri manusia yang dapat digunakan untuk menilai suatu kebenaran dan atau kebaikan. Ada diantara para filosof yang mengatakan bahwa rasio akal budi manusia dapat menilai sebuah kebenaran dan kebaikan. Hal mana itu seperti dilakukan oleh Immanuel Kant. Ada juga yang mengandalkan intuisi (rasa), sebagaimana dilakukan Abu Hamid Al-Ghazali. Di antara mereka yang menggunakan rasio itu juga da perbedaan pendapat.
Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa sesuatu itu benar atau baik ditinjau dari sudut pandang orientasinya. Menurut pendapat ini, sesuatu dinilai sebagai baik adalah jika orientasi (tujuan) dari dilakukannya sesuatu itu adalah baik. Jika tujuannya tidak baik maka tidak baik pula. Seperti mencuri untuk tujuan disedekahkan kepada orang tidak mampu, maka hal ini adalah baik menurut pendapat ini.
Diantara mereka juga ada yang berpendapat bahwa sebuah kebenaran atau kebaikan dapat dinilai dari sudut pandang akibatnya. Menurut pandangan ini sesuatu dinilai dengan baik jika akibat yang ditimbulkan dari sesuatu tersebut tidak baik. Maka hal mencuri sebagaimana dijelaskan di atas itu menjadi tidak baik karena dapat merugikan orang lain.
Kitab Hikmah At-Tasyri’ rupanya adalah kitab yang berusaha mengkaji syariat Islam dari sudut pandang aksiologis. Dan nampaknya kitab tersebut lebih condong pada kelompok yang kedua.
Wallahu a’lam…..
Di kalangan masyarakat pada umumnya, terjadi kerancuan antara apa yang dimaksud dengan istilah etika dan moral. Pada kebiasaannya etika disamakan artinya dengan moral. Orang yang tidak bermoral disebut dengan tidak beretika, dan juga sebaliknya, saat kita melihat sesuatu yang tidak pantas berdasarkan suatu norma atau aturan dilakukan oleh seseorang, kita menyebutnya sebagai tidak etis. Apakah memang benar demikian?
Etika merupakan salah satu bidang kajian filsafat pada bagian aksiologi. Ia adalah filsafat (pemikiran) yang mengkaji tentang nilai benar dan salah, baik dan tidak baik. Lebih jauh, dikatakan bahwa etika itu berkaitan dengan pemahaman akan orientasi.
Berbeda dengan moral, etika tidak memberikan kita tuntunan bahwa sesuatu ini baik atau buruk dan sebagainya layaknya sebuah kitab suci agama. Sedangkan moral, bertugas memberikan tuntunan pada manusia untuk memberikan ajaran mana yang baik dan bana yang tidak. Mana yang benar dan mana yang salah. Hal ini dapat diketemukan oleh kita dalam ajaran kitab-kitab suci agama, norma kebudayaan dan petuah seorang tokoh (ulama, tokoh adat, pendeta dan semacamnya).
Permasalahannya adalah ketika kita dihadapkan pada sebuah pertanyaan demikian: “Benarkah apa yang dikatakan mereka dengan benar itu adalah benar?”, bagaimana kita bisa menjamin kebenaran dari suatu ajaran agama, budaya dan petuah seseorang?, dan jika saja terdapat perbedaan diantara itu semua manakah yang harus kita pilih?.
Maka dalam hal inilah etika itu berperan. Ia memeberikan kita semacam cara bagaimana kita menilai suatu nilai moral itu adalah benar dan bisa kita ikuti. Dalam hal ini (meskipun bukan satu-satunya) maka rasio adalah alat terutama yang digunakan etika dalam memberikan jastifikasi kebenaran dan kebijakan apa yang harus kita lakukan.
Ada banyak perbedaan pandangan tentang pada bagian potensi yang mana dalam diri manusia yang dapat digunakan untuk menilai suatu kebenaran dan atau kebaikan. Ada diantara para filosof yang mengatakan bahwa rasio akal budi manusia dapat menilai sebuah kebenaran dan kebaikan. Hal mana itu seperti dilakukan oleh Immanuel Kant. Ada juga yang mengandalkan intuisi (rasa), sebagaimana dilakukan Abu Hamid Al-Ghazali. Di antara mereka yang menggunakan rasio itu juga da perbedaan pendapat.
Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa sesuatu itu benar atau baik ditinjau dari sudut pandang orientasinya. Menurut pendapat ini, sesuatu dinilai sebagai baik adalah jika orientasi (tujuan) dari dilakukannya sesuatu itu adalah baik. Jika tujuannya tidak baik maka tidak baik pula. Seperti mencuri untuk tujuan disedekahkan kepada orang tidak mampu, maka hal ini adalah baik menurut pendapat ini.
Diantara mereka juga ada yang berpendapat bahwa sebuah kebenaran atau kebaikan dapat dinilai dari sudut pandang akibatnya. Menurut pandangan ini sesuatu dinilai dengan baik jika akibat yang ditimbulkan dari sesuatu tersebut tidak baik. Maka hal mencuri sebagaimana dijelaskan di atas itu menjadi tidak baik karena dapat merugikan orang lain.
Kitab Hikmah At-Tasyri’ rupanya adalah kitab yang berusaha mengkaji syariat Islam dari sudut pandang aksiologis. Dan nampaknya kitab tersebut lebih condong pada kelompok yang kedua.
Wallahu a’lam…..
Malang, 24 April 2018
No comments:
Post a Comment