Oleh: R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd.
Ketika tulisan ini ditulis, penulis baru saja menonton sebuah film kolosal di salah satu televisi swasta berjudul "Wasiat Kyai Smaningrat". Dalam suatu adegan 2 (dua) orang pemeran utama kakak beradik sedang menolong para penduduk desa dari serangan perampok. Kedua kakak beradik itu dapat mengalahkan gerombolan perampok itu. Setelah ketua perampok itu dapat dilumpuhkan dan semua pengikutnya mati terbunuh, terjadilah perdebatan tentang bagaiman nasib ketua perampok yang telah babak belur dan menyerah itu. Haruskah dibunuh atau diampuni. Sang kakak mengambil keputusan gegabah sebelum musyawarah selesai dengan membunuhnya. Sang adik lalu menegur: "mengapa harus diunuh?, bukankah dengan demikian kakak telah bertindak sama kejamnya dengan perampok?"
Sang kakak menjawab: "ini adalah hukum alam. Yang membunuh harus dibunuh."
Si adik menjawab: "seharusnya kita menghukum dengan hukum manusia."
Demikianlah kurang lebih dialognya.
Secara disengaja atau tidak, dialog bertemakan hukum alam dan manusia itu telah bersinggungan dengan perihal hukum alam dan hukum sosial dalam teori dan filsafat ilmu. Hukum alam berkaitan dengan ilmu alam dan hukum manusia berkaitan dengan ilmu sosial.
Sejak semula dalam filsafat Yunani, obyek terbesar yang menjadi pokok bahasan para filsuf adalah alam dan manusia. Alam merupakan dunia besar (makro cosmos). Sedang manusia adalah dunia kecil (mikro cosmos).
Pembahasan filosofis mengenai keduanya telah membawa perkembangan pada dua kutub besar keilmuan yang berdiri sendiri. Para filsuf alam membangun dasar-dasar bagi ilmu alam. Adapun para filsuf manusia telah membangun dasar-dasar ilmu sosial.
Dalam perkembangan berikutnya, kedua cabang keilmuan itu berkembang dalam kondisi dan perjalanan yang tidak sama. Ilmu alam telah berkembang sedemikian kokohnya sehingga menjadi ilmu yang mandiri. Beberapa hukum ilmu alam seperti hukum relativitas, hukum kuantum, dan hukum gravitasi telah mapan sebagai hukum alam. Hal mana itu dibangun atas jasa para jenius seperti Copernicus, Newton, dan Enstein.
Adapun ilmu sosial kondisinya masih jauh tertiggal dari saudaranya itu. Para ahli dalam bidang ini masih bersusah payah untuk menemukan apa yang ingin mereka jadikan semacam landasan pacu keilmuan mereka yang disebut "Hukum Sosial."
Namun hal tersebut hingga sekarang nampaknya belum membuahkan hasil yang mencerahkan. Teori-teori sosial berkembang pesat dan menunjukkan deferensi satu sama lain. Bahkan cenderung saling menentang. Di antara para ilmuwan sosial bahkan mengatakan bahwa hukum sosial itu mustahil ada. Dan lebih jauh dikatakan bahwa ilmu sosial mustahil untuk menjadi ilmu yang benar-benar saintifik.
Namun demikian kita bisa melihat teori-teori sosial yang cukup berpengaruh dan dibangun oleh tokoh-tokoh besar keilmuan ini. Di antaranya adalah teori klasik Durkheim, Comte, dan Spencer. Adapun yang lebih belakangan adalah seperti teori yang dibangun Weber, Karl Marx, dan Ferguson.
Nampaknya pembahasan mengenai manusia lebih sulit dari pada pembahasan mengenai alam raya yang luas ini. Mungkinkah ini karena ilmu sosial adalah ilmu yang membahas manusia oleh manusia itu sendiri?
Sepertinya juga karena demikian....
Malang, 29 September 2019
No comments:
Post a Comment